Saturday, June 18, 2011

Catatan Kecil untuk Bapak

Matahari seolah akan memberangus semua yang ada. Usai shalat dhuhur, Nurul bergegas pulang ke rumah. Sedikit buru-buru ia pulang, karena harus segera menghadiri pertemuan organisasi perempuan di Weleri. Namun entah mengapa tiba-tiba rasa malas menghinggapinya. Rumah yang sepi turut mendukung rasa malasnya. Karena kebetulan suaminya sedang bertugas ke luar kota, anak pertamanya, Risa sedang nyantri di Ponorogo, adapun adiknya, Risyad tinggal dengan neneknya.

Setelah bergulat dengan rasa malasnya, akhirnya Nurul memutuskan untuk melawannya dengan bergegas mengeluarkan motor tuanya-Honda 70-yang selalu setia menyertai perjuangannya. Pelan-pelan, karena memang motornya sudah tak mampu melaju kencang, ia susuri jalur pantura. Matahari makin menunjukkan kegarangannya. Ditambah rasa malas dan takut ada ‘Operasi Polantas’, karena motornya tidak mempunyai lampu, riting, dan hanya memiliki 1 spion, Nurul merasakan dag dig dug.

Entah bagaimana perasaan yang berkecamuk di benak Nurul, sampai-sampai ia tersesat menuju rumah mbak Luluk, yang sudah sangat dihafalnya. Anehnya, perasaan itu tak juga hilang meski ia sudah tiba di rumah temannya. Saat itu mbak Mun sudah tiba lebih dulu.

Kenapa, ya, aku kok deg-degan sejak dari rumah?” Nurul bergumam.

“Ah, mbak, paling-paling karena mbak Nurul sedang banyak urusan,” mbak Mun menimpali.

“Ya, semoga betul begitu, tapi kalau ke sini saja sampai tersesat apa tidak aneh?”

“Masak?”

“Iya!” Nurul mencoba meyakinkan,”dari selatan, aku kebablasan ke utara, berbalik ke selatan, e, kebablasan lagi.”

“Moga-moga tak ada apa-apa, mbak,” mbak Mun mencoba menghibur, “itu resiko kita, karena kita memilih peran ganda, aktifis yang berkarier dan sekaligus jadi ibu rumah tangga. Jawaban ulangan siswa mbak Nurul menunggu dikoreksi, masih harus membuat nilai dan menulis raport, merencanakan kegiatan Musyawarah Daerah dan Pelatihan Internet, belum lagi urusan rumah tangga, dan keluarga, dan lain-lain, dan lain-lain. Dibuat santai aja, lah.”

Berikutnya berduyun-duyun Yus, Erly, Handa, dan yang lain datang. Sembilan orang dari lima belas orang yang seharusnya hadir telah datang. Rapat pun segera dimulai. Agenda utama Musda, dilanjutkan dengan pembahasan Pelatihan Internet bekerja sama dengan PT Telkom. Rapat pun berakhir pukul 16.30 WIB. Nurul masih belum bisa menghilangkan pikiran ‘aneh’ yang berkecamuk tak menentu di benaknya. Bahkan hal itu menyebabkannya kembali tersesat saat pulang dari rumah mbak Luluk.

Sesampai di rumah pun ia masih belum bisa menenangkan hatinya. Akhirnya pikiran negatif pun menelusup, jangan-jangan… Segera ia menekan nomor HP mas Indar, suaminya.

“Assalamu’alaikum, yang.

“Waalaikum salam, ada apa?”

Njenengan sedang apa, nggak ada apa-apa, kan?”

“Lagi tiduran, rasanya nggak karuan, sejak siang hilir mudik tak tentu tujuan, jadi capek sendiri.”

“Alhamdulillah, kalau hanya capek. Istirahat saja. Jangan lupa sholat, sudah adzan, tuh. Aku ke musholla dulu, ya, assalamu’alaikum.”

Setelah mengetahui keadaan suami baik-baik saja, Nurul kembali menekan nomor HP. Kali ini nomor kakaknya, Mbak Maf.

Ono opo, Rul?”

“Aku yang mau tanya, ada apa? Risyad dimana?”

Nggak ada apa-apa, Risyad lagi tahlilan.”

”Alhamdulillah, ya, udah, gitu aja, dulu.”

Musholla di samping rumah sudah mengumandangkan iqomah, Nurul segera bergabung dengan jamaah yang lain, mendirikan sholat maghrib. Saat tiba pada rakaat ketiga, Nurul merasa shalat baru terlaksana dua rakaat, karenanya ia masih meletakkan pantatnya di atas kaki kiri. Karuan saja ia jadi ledekan jamaah.

“Mbak Nurul melamun, tuh,” demikian bisik-bisik yang sempat didengarnya. Untunglah tidak berkepanjangan, karena Imam sudah mengumandangkan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil, maklum, hari itu tanggal 12 Dzulhijah, jadi masih masuk hari Tasyrikh, yang umat Islam disunahkan mengumandangkan kalimat toyibah.

Baru saja masuk rumah, telepon berdering.

“Assalamu’alaikum, Dik Nurul.”

“Waalaikum salam, Mbak Ifa, tumben, ada apa, nih?”

“Dari tadi kuhubungi ke HP kok sulit sekali.”

“Iya, lagi nelpon Mas Indar dan Risyad.”

“Dik, ada kabar, tapi belum resmi, Lek Bin wafat di Mina.”

Alhamdulillah,”

“Dik Nurul tidak apa-apa?” Mbak Ifa sangat khawatir.

“Innalillahi wainnailaihi rooji’un, tidak apa-apa, Mbak, insya Allah itu yang terbaik untuk Bapak,” Jawab Nurul.

“Tapi ini belum resmi, lo, Dik. Dik Nurul cari informasi di Depag saja.”

“Terima kasih atas beritanya, biarlah kami menunggu kabar saja.”

Sing sabar ya, Dik, insya Allah Lek Bin mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya, karena meninggal di saat menunaikan ibadah haji.”

“Amin. Sekali lagi terima kasih, maafkan, kalau ada kesalahan Bapak.”

“Iya, Dik. Sudah dulu, ya, Assalamu’alaikum.”

Nurul terhenyak, ya, Allah, inikah jawaban dari kerisauanku seharian ini? Sejenak ia tak mampu berbuat apa-apa. Tulang-tulang di tubuhnya seperti lepas, lemas. Tak ada air mata. Dia diam terpaku. Tapi tak lama, ia segera tersadar. Setiap yang bernyawa pasti akan menemui kematian, tinggal menunggu waktu saja.

Mbak Ifa menilai Nurul benar-benar tabah dan ikhlas. Karena saat mendengar kabar ayahnya meninggal, ia tetap bersyukur. Awalnya Mbak Ifa ragu menyampaikan kabar itu, karena Nurul sendirian di rumah, kalau pingsan bagaimana? Untunglah, apa yang dikhawatirkan, jauh panggang dari api, tak terbukti sama sekali.

Kembali Nurul menghubungi suaminya, untuk mengabarkan berita itu.

“Ada apa lagi?” Mas Indar langsung menyambar, karena belum berapa lama Nurul menghubunginya.

“Mas, Bapak seda.” Suara Nurul sedikit tercekat.

Alhamdulillah. Innalillahi wainnailaihi rooji’un. Jare sopo?

“Mbak Ifa, dapat kabar dari tetangganya yang satu KBIH dengan Bapak. Lupute Bapak dingapuro ya, Mas.”

“Iya. La Ibu sudah tahu?”

“Bagaimana memberitahunya?”

“Kamu ke sana saja.”

“Aku lemas, kalau naik motor malah berbahaya, kan?”

“Telpon Mbak Maf saja.”

Begitu memutuskan saluran komunikasi dengan Mas Indar, Nurul segera menghubungi mbak Maf.

Kowe wis ngerti?” mbak Maf langsung mendahului.

Sampeyan jare sopo?”

“Ini, Mbak Nur sedang mengabarkan.”

“Ibu bagaimana? Bisa menerima, kan?”

Nggak apa-apa, kalau menangis masih wajar, kan? wong suaminya meninggal?”

“Syukurlah. Tapi aku nggak ke sana, ya, Mbak, agak lemas.”

Nurul kembali tertegun. Tak tahu, apa yang harus dilakukan. Dering HP mengejutkannya. Mas Indar memanggil…

“Aku sudah menghubungi Kantor Depag Kendal, belum ada kabar.”

“Kalau memang meninggal, nanti kan ada pemberitahuan.”

“Sudah memberi tahu Ibu?”

“Sudah. Tapi Ibu sudah lebih dulu tahu dari Mbak Nur.”

“Umi ke rumah Ibu saja, pasti saudara-saudara sudah berkumpul di sana. Aneh saja, kalau anaknya tak kelihatan.”

“Tapi aku masih lemas, khawatir terjadi apa-apa di jalan.”

“Naik kendaraan umum, kan bisa?”

“Ya… gampang, lah.” Nurul menjawab dengan bimbang.

“Daripada di rumah sendirian…” Mas Indar memaksa dengan halus.

“Ya, nanti saya minta Dik Fat menjemput.”

Sholat isya dirasakan Nurul sangat berbeda. Ia tak kuasa membendung air mata yang meluncur turun. Air mata yang tertahan sejak mendengar berita itu pertama kali. Nurul merasakan seluruh tubuhnya bergetar, seakan ia berhadapan langsung dengan Sang Khalik, ia mohonkan ampun untuk ayahanda tercinta. Ia yakin ayahnya mendapat tempat yang baik di sisi-Nya, apalagi ayah menghembuskan nafas terakhir saat menjadi tamu Allah. Semoga surga menjadi rumah abadinya kelak. Amin.

Pulang dari musholla telepon rumah berdering.

“Assalamu’alaikum,” suara laki-laki di ujung telepon mengawali pembicaraan.

“Waalaikum salam,” Nurul menjawab salam.

“Bisa bicara dengan Mbak Nurul?”

“Ya, saya sendiri. Maaf ini siapa, ya?”

“Perkenalkan, saya Jamzuri, dari Posko Haji Kabupaten Kendal,”

“Bapak kami meninggal, kan?”

Panjenengan tahu dari mana?”

“Dari tetangga kakak yang satu maktab dengan Bapak.”

“Maaf kalau boleh tahu, hubungan Mbak Nurul dengan Pak Muqorobin, apa, ya?”

“Saya, anaknya.”

“Kalau begitu, saya sampaikan berita secara resmi dari Depag, bahwa betul, Pak Haji Muqorobin telah pulang keharibaan Illahi siang tadi, Kamis, 12 Dzulhijjah 1426 H. bertepatan dengan tanggal 12 Januari 2006 M. pukul 13.00 waktu Mina atau sekitar pukul 17.00 WIB, karena serangan jantung. Semoga keluarga yang ditinggalkan mendapat kesabaran dan ketabahan, amin.”

“Ya, terima kasih, kalau Bapak kami ada kesalahan mohon dimaafkan.”

“Sama-sama, Mbak, nanti kalau Jamaah Haji Kendal sudah pulang, Mbak Nurul bisa mengurus segala sesuatu berkaitan dengan meninggalnya Bapak di Kantor Depag Kendal.”

“Ya, Pak, sekali lagi terima kasih.”

“Pemerintah menyampaikan rasa bela sungkawa yang dalam untuk seluruh keluarga, insya Allah almarhum khusnul khotimah.”

“Amin ……….”

Setiba di Kaliwungu, sanak saudara dan tetangga telah memenuhi rumah ibu Nurul yang sempit. Nurul memperhatikan ibunya yang tampak tabah menerima ucapan bela sungkawa. Sesekali terlihat tangannya yang keriput mengusap air mata yang meleleh membasahi pipinya. Dan berkali-kali beliau mohonkan maaf serta doa untuk suaminya dari semua yang datang menyampaikan bela sungkawa.

Selama tiga hari berturut-turut para tetangga bergotong royong mengirimkan makanan ke keluarga ibu Nurul. Baik untuk konsumsi sehari-hari maupun untuk jamuan pengajian tiap malam. Pengajian yang dimaksudkan untuk memberikan nasihat bagi siapa saja terutama bagi yang tertimpa musibah, agar selalu sabar dan tabah. Peserta pengajian tidak makan makanan dari keluarga yang sedang berduka melainkan dari mereka sendiri.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu akhirnya ibu Nurul terlihat sudah sangat ikhlas melepas suaminya. Beliau kembali beraktivitas seperti biasa. Permintaan tetangga membantu memandikan jenasah kembali dijalani. Padahal saat suami sendiri meninggal, jangankan memandikan, melihat jasadnya pun tidak.

Namun keikhlasan itu kembali terusik saat jamaah haji kloter 72 debarkasi Solo tiba di Kendal. Teman-teman yang tergabung dalam satu kelompok bimbingan haji datang melayat sekaligus mengirimkan koper dan barang-barang milik almarhum. Nurul mencatat hari-hari terakhir bapaknya dari cerita mereka yang datang.

Nurul kembali mengenang sosok bapak yang tegas, yang selalu mendukung setiap aktifitasnya. Bapak yang pandai bercerita, dan suka bercanda. Dari penggalan cerita teman-teman bapak, Nurul mencoba merangkainya dengan membayangkan tengah menjalankan ibadah haji, dan tengah mengikuti wukuf di Padang Arafah. Saat senja menjelang, seluruh jamaah menuju Musdalifah untuk bermalam. Pagi hari setelah shalat subuh, semua kembali ke Mina untuk bersiap-siap melempar jumrah.

“Pak Bin, arah ke tenda kita lewat sini,” salah seorang teman mengingatkan.

“Ya, aku tahu. Aku mau ke sana sebentar,” Bapak menjawab.

Sebentar yang dikatakan Bapak, ternyata sehari semalam. Saat seluruh jamaah melempar jumrah, Bapak belum kelihatan, bahkan dinyatakan hilang!

Malam hari usai shalat isya, Qomar, seorang jamaah lain kloter, tapi juga berasal dari Kaliwungu, datang bersilaturrahmi.

“Assalamu’alaikum,” Qomar menyapa.

“Waalaikum salam,” semua yang berada di tenda itu menjawab.

“Bagaimana kabarnya?”

“Alhamdulillah baik.”

“Masih lengkap semua, Pak?”

“Itulah, masalahnya, dari Musdalifah subuh tadi, Pak Bin belum juga kelihatan.”

“Ah, masak? Wong sore tadi saya bertemu beliau.”

“Yang benar, Mas? Ketemu dimana?”

“Di dekat terowongan.”

“Bagaimana keadaannya?”

“Baik-baik saja, kok.

“Masih berpakaian ihram?”

“Tidak. Pak Bin sudah memakai baju koko berwarna krem dan celana panjang coklat. Saat saya tanya sedang apa, beliau menjawab sedang santai-santai cari angin”

“Syukur alhamdulillah, semoga Pak Bin selalu mendapat perlindungan Allah.”

“Amin,” semua serempak menjawab.

Tengah malam atau tepatnya, pada pagi buta, hari berikutnya, Bapak kembali ke tenda masih dalam keadaan berpakaian ihram. Kondisinya baik-baik saja, tak kurang suatu apa pun.

“Sudah melempar jumrah, Pak Bin?” Ustadz Farhan yang terbangun menyelidik.

“Alhamdulillah, sudah. Kalau belum, ibadah haji saya tidak sah, kan?”

“Ya, betul, Pak, tapi karena masih malam, sekarang Pak Bin istirahat saja, dulu. Besok masih banyak kegiatan yang membutuhkan tenaga ekstra.”

Pagi hari saat semua sudah bangun dari tidur, dan mendapati Bapak sudah berada di tengah-tengah mereka, Bapak kewalahan menjawab berbagai pertanyaan.

“Pak Bin sudah tahalul?”

“Alhamdulillah, sudah.”

“Tidak disempurnakan dengan gundul sekalian, Pak?”

“Tidak harus, kan?”

“Afdholnya, Pak. Sayang, kan, kalau tidak kita sempurnakan. ”

Akhirnya, setelah dibujuk, Bapak bersedia digunduli. Dan ternyata saat berangkat ke Mina-sebelum wukuf-beliau tidak membawa baju selain dua pakaian ihram. Sedikit aneh, lalu siapa yang bertemu dengan Qomar dengan memakai baju koko krem dan celana coklat? Sementara Bapak tidak membawa baju apapun di Mina. Hari itu, tanggal 11 Dzulhijjah, karena Bapak merasakan kondisi badannya kurang sehat, beliau minta tolong Pak Sugiri untuk mewakili melemparkan jumrah.

Kepergian dan kepulangan Bapak yang misterius setelah mabit di Muzdalifah, memancing rasa ingin tahu semua orang. Teman-teman Bapak penasaran ingin mengetahui kemana Bapak pergi sehari semalam kemarin?

“Kemarin, Pak Bin pergi kemana?” salah seorang dari mereka bertanya.

“Aku baru pulang ke Kaliwungu,” Bapak menjawab dengan ringan dan tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Spontan, semua yang mendengar jawaban Bapak tertawa geli. “Sungguh, aku pulang ke Kaliwungu. Kalau Bapak-Bapak tidak percaya, saat pulang ke Kaliwungu nanti, Bapak-bapak pasti takjub, karena Kaliwungu sekarang sudah menjadi kota metropolitan. Rumah Pak Slamet dan Ustadz Farhan sudah tidak ada, karena sudah menjadi gedung pencakar langit. Jalan layang dibangun di mana-mana. Semuanya lebar dan mulus.”

La, rumah Pak Bin, bagaimana?”

“Rumahku masih ada, tapi aku tak bisa pulang, karena tertutup rapat.”

“Terus, Pak Bin langsung kembali ke Mina?”

“Sebetulnya mau langsung kembali, tapi aku bertemu Kyai Musyafak, dan diajak walimahan. Jadi, aku ikut walimahan dulu. Bahkan aku diberi dua bingkisan oleh Kyai Musyafak. Setelah itu, baru aku mencari becak, tapi tak ada, lalu diantar anakku naik vespa sampai di sini.”

Ustadz Farhan terhenyak mendengar cerita itu. Kyai Musyafak atau lebih dikenal dengan nama Wali Sapak adalah orang alim yang sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Wah, Pak Bin sudah berada di alam lain, pikir Ustadz Farhan.

“Maaf Pak Bin, boleh kami tahu, putra Pak Bin ada berapa, ya?” Ustadz Farhan mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Anakku yang masih hidup ada enam.”

“O, ya. Ada yang bernama Nurul?’

“Ada. Anak keempat.”

“Sudah, cukup, Bapak-Bapak, kasihan Pak Bin. Biarkan Pak Bin istirahat. Kelihatannya Pak Bin masih lelah.”

Hari berikutnya, tepatnya tanggal 12 Dzulhijjah, Bapak merasakan tubuhnya makin lemah. Karenanya beliau kembali minta tolong diwakili melempar jumrah. Bapak hanya mampu tiduran di tenda. Saat Dokter memeriksa, ternyata kadar gula Bapak naik. Tubuhnya semakin lemas apalagi Bapak tidak mau makan apapun. Beliau terbangun ketika jamaah pulang dari melempar jumrah.

“Sudah pulang?” bapak menyapa lirih.

“Iya, sudah.”

“Sudah shalat dhuhur, semua?”

“Sudah. Pak Bin sudah?”

“Belum. Mau wudhu, kok, rasanya lemas. Bisakah panjenengan menolong mengantarku ke kamar mandi?”

“Mari, Pak Bin, saya antar,” Mukhlas menawarkan diri.

Dengan dipapah Mukhlas, Bapak menuju kamar mandi. Setelah beberapa saat Mukhlas menunggu di luar, ia merasa aneh, karena tak ada suara dari dalam kamar mandi.

“Pak Bin, sudah selesai?” Mukhlas menyelidik.

Tak ada jawaban dari dalam. Hanya terdengar suara gerendel dibuka. Mukhlas melongok ke dalam. Didapatinya Bapak terduduk lemas di lantai kamar mandi. Bergegas Mukhlas kembali ke tenda, meminta bantuan Sugiri. Mereka lari ke kamar mandi sambil membawa kursi roda. Bapak langsung diantar ke rumah sakit Mina yang berjarak 100 meter dari kamar mandi.

“Alhamdulillah,” dokter yang memeriksa berucap.

Nggak apa-apa, Dok?” Mukhlas dan Sugiri kompak bertanya.

“Beliau sudah bertemu Kekasihnya.”

Innalillahi wainnailaihi rojiun.”

Nurul tak mampu melanjutkan imajinasinya, air mata sudah membanjiri pipinya. Pertanyaan besar yang tak mungkin terjawab, hanya menyisakan tanda tanya, kemana sebetulnya dua puluh dua jam Bapak berpisah dari kelompoknya? Kota manakah yang Bapak gambarkan sebagai Kota Metropolitan Kaliwungu itu?

“Selamat jalan Bapak, kembalilah pada Tuhan dengan jiwa yang tenang,” Nurul kelihatan ikhlas, “Semoga Allah mengampunimu, menerima ibadahmu, dan menempatkanmu di tempat terbaik, surga jannatunnaim, amin”.

Untuk Ayahanda MOEQOROBIN yarhamukallah

3 comments: