Saturday, June 18, 2011

Kidung Kinanti


Matahari semakin menunjukkan kegarangannya siang ini. Terlihat beberapa tukang becak memilih berteduh di bawah pohon. Kalau tak ada keperluan penting pastilah orang memilih tetap tinggal di rumah, daripada harus menghadapi kemurkaan matahari. Cuaca Jogja kali ini benar-benar tak bersahabat.
Sedikit berlari, Asti bergegas menuju kampus. Map di tangan tak cukup melindunginya dari sengatan panas. Siang sepanas ini mestinya lebih enak tiduran sambil membaca novel kesayangannya, ditemani alunan musik dan suara merdu Rossa, tapi dorongan untuk menemui seseorang yang sangat dicintainya dan sedang dihindarinya beberapa hari ini, mengalahkan segalanya.
Celoteh anak-anak sudah memenuhi ruang kelas, padahal sebagian kursi masih terlihat kosong. Asti menyelinap di antara adik-adik kelasnya. Kamal, sang dosen idamannya belum kelihatan. Mungkin dia sedang melepas lelah di kantor, karena saat melewati tempat parkir, Asti sudah melihat sepeda motornya. Tiba-tiba telepon genggamnya bergetar, ada sms dari Mas ‘K’.
“Kinanti, usai kuliah tunggu aku di depan perpus.”
Kamal memang selalu memanggilnya dengan sapaan Kinanti, padahal orang tuanya memberinya nama Asti Sukmawati. Menurut Kamal, Asti adalah orang yang sangat ia tunggu, kutunggu, sama dengan kunanti. Asti adalah Kinanti. Inilah yang membuat Asti melayang, di samping perhatian dan puisi-puisinya. Sebuah Ontologi Puisi yang memuat karyanya berjudul Asti Kinanti, dihadiahkan pada Asti saat Kamal mengungkapkan isi hatinya. Asti sangat tersanjung.
Kamal masuk kelas untuk memberikan kuliahnya. Matanya menatap tajam sosok Asti. Sorotnya seolah mencari jawab atas sms yang dikirimkannya dan belum dijawab Asti. Asti hanya mengangguk dan segera menundukkan muka. Hatinya bergetar. Jantungnya berdegup kencang. Berkali-kali mata mereka beradu dalam dua jam perkuliahan itu.
Para mahasiswa tidak menyadari gelegak cinta yang membara di antara keduanya. Asti dan Kamal sebetulnya tak begitu rapi menyimpan perasaan mereka, mahasiswa-mahasiswa itu saja yang tak terlalu peduli urusan orang. Hanya teman sekamar kost Asti yang sempat menanyakan status Kamal.
“Kamu serius dengan Pak Kamal?” Titis menyelidik.
“Kalau ya, bagaimana?” Asti balik bertanya.
“Selidiki dulu, udah punya pacar belum, jangan-jangan malah udah punya istri?”
Ngaco, ah, kamu! Tapi, sosoknya oke, kan?”
Oke sih oke, tapi kalo gak jelas gitu, buat apa coba?”
“Iya, ya, ntar aku cari tau tentang dia,” Asti menyerah.
“Ingat, Asti, saat kita berani berkomitmen dengan seseorang, pastikan bahwa masing-masing pihak tengah sendiri, sehingga tidak akan ada yang tersakiti.”
“Iya, Bunda. Lagakmu itu, lo, Tis kayak ibuku aja.” Asti berseloroh.
Emang, ibumu udah pesen padaku untuk jagain kamu!”
Belum lima menit Asti berdiri menunggu di depan perpus, laki-laki berjaket kulit dan berhelm rapat menghampirinya. Tanpa bicara ia sodorkan helm pada Asti. Asti yang mengenali laki-laki itu adalah Kamal, menerima helm itu, memakainya dan segera duduk di belakang laki-laki yang telah membuatnya sangat bahagia akhir-akhir ini.
Kamal melarikan Tigernya menuju Ring Road Utara, kemudian berbelok ke Jalan Kaliurang. Asti tak berkata sepatah kata pun, ia hanya ingin menikmati kebersamaan mereka. Ia pun membiarkan, saat Kamal menarik tangannya, dan menggenggamnya. Asti tak bisa melukiskan perasaannya saat itu. Yang jelas, cuaca Jogja yang sedang tidak bersahabat, sekarang ia rasakan sangat sejuk.
Tiba di Objek Wisata Kaliurang, mereka berjalan-jalan menikmati kesejukan dan keindahan alam pegunungan di lereng Merapi itu.
“Kamu kenapa, Kinanti? Dari tadi kok diam saja?”
Nggak ada apa-apa kok, Mas,” Asti mengelak.
Kamal menggandeng Asti. Tangan Asti dirasakannya sangat dingin.
“Benar, kamu tak apa-apa? Tanganmu kok dingin sekali?”
“Sungguh, Mas, aku tak apa-apa.”
Kamal spontan melepas jaketnya, kemudian memakaikannya ke tubuh Asti. “Aku sangat takut kehilangan kamu,” ucap Kamal lirih.
Sebetulnya Asti lebih takut lagi kehilangan Kamal, tapi ia tak mampu berkata-kata. Ucapan Kamal tadi telah membawa kehangatan tersendiri baginya. Niatnya untuk mengorek keterangan tentang status Kamal sirna sejenak. Asti khawatir pertanyaannya akan merusak suasana.
“Mengapa akhir-akhir ini kau sering menghindariku?” Kamal memulai pembicaraan serius.
“Maksud Mas Kamal apa?”
“Renungan di Sanggar Budaya kemarin, kau selalu menghindar tiap aku berusaha mendekatimu.”
“Demi Tuhan, Mas, aku tak bermaksud begitu, “ Asti mencoba menata hati, “aku hanya menjaga jarak agar hubungan kita tak terlalu mencolok. Bukankah saat itu Mas Kamal menjadi narasumber?”
“Aku justru ingin teman-teman tahu tentang kita.”
“Mas….” Asti sedikit ragu.
“Kinanti, kau tahu aku sangat mencintaimu. Aku merasa damai di sisimu. Jangan kau cabik-cabik hatiku, jangan menjauh dariku.”
“Tapi, Mas, kita tak mungkin begini selamanya. Sebentar lagi aku selesai kuliah, dan aku harus kembali ke desaku. Pada saatnya kita tetap akan berpisah. Mas Kamal sudah punya karier di sini, sedangkan aku, masih harus menatap masa depanku yang masih jauh.”
“Tidak, Kinan, kau jangan pulang, kau harus tetap di sini.”
“Mas Kamal siap menjadi masa depanku?”
“Ya. Kita akan merajut hari bersama-sama.”
“Dalam suka maupun duka?”
“Aku ingin tak ada duka di antara kita.”
“Kalau kita bersama, apakah tidak ada perempuan lain yang terluka?”
Asti tak percaya kalau akhirnya ia mampu mengucapkan kata-kata itu. Tapi melihat reaksi Kamal yang diam seribu bahasa, ia mulai curiga. Jangan-jangan…
Kali ini Asti mencoba menjalani lakon menjadi detektif. Setelah minta alamat Kamal dari kampus, ia datangi alamat itu. Setelah yakin telah menemukan alamat yang dicari, ia sedikit ragu melangkah masuk. Rumah itu tampak asri. Tak terlalu besar, tapi juga tak bisa dikatakan kecil.
Tak berapa lama ia tekan bel, sesosok perempuan lumayan cantik, dengan penampilan sederhana membukakan pintu.
“Assalamu’alaikum,” Asti menyapa pelan.
“Waalaikum salam, ada yang bisa saya bantu?” perempuan itu balas bertanya dengan ramah.
“Maaf, benar ini rumah Pak Kamal?”
“O, ya, mari silakan masuk. Mbak ini mahasiswanya, ya?”
“Betul, Bu, perkenalkan, saya Asti mahasiswa Pak Kamal.”
“Saya istri Pak Kamal, ada perlu apa, ya?”
Deg. Jantung Asti berhenti berdetak. Inilah yang paling ditakutinya. Dalam keterkejutannya ia sempat menyapu sekeliling ruangan, tampak foto wisuda S2 Kamal didampingi istri yang menggendong anak berusia sekitar setahun.
Anu, e, saya mau konsultasi skripsi, Bu,” Asti menjawab asal, karena yang benar, skripsinya sudah kelar.
Lo, bukannya Bapak masih di kampus?”
“Maaf, saya tidak ke kampus dulu, jadi tidak tahu.”
“Tapi ini juga sudah waktunya pulang kok, ditunggu aja, ya? Kalau tak ada urusan lain, paling-paling setengah jam lagi sampai.”
“Tidak usah, Bu, besok saja saya menemui di kampus. Kalau begitu saya mohon pamit sekalian.”
Asti merasakan tubuhnya lemah lunglai. Tak ada kekuatan sama sekali. Dengan langkah gontai ia tinggalkan rumah Kamal tanpa tujuan pasti. Kemana pun kaki melangkah, ke sana ia turut. Dan tanpa ia sadari langkahnya membawanya menuju terminal dan langsung naik bus jurusan Semarang yang segera berangkat. Jam sembilan malam ia sampai di Kendal, kota kelahirannya.
Telepon genggam Asti berdering, Mas ‘K’ memanggil, Asti langsung menon-aktifkan hpnya. Ia merasakan tubuhnya sangat lengket. Bergegas Asti menuju kamar mandi. Ibu telah menyiapkan sepiring pisang goreng kesenangannya. Pagi-pagi minum teh panas ditemani pisang goreng, hemm, hilang semua masalah yang hinggap di kepalanya, walau hanya sesaat.
Hari itu Asti hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. Ia malas melakukan aktivitas apapun. Pulang kantor ayahnya memberitahu bahwa nanti sore ayah Fandi akan bertandang ke rumah. Asti tak terlalu menghiraukan, karena sudah biasa ayahnya dan ayah Fandi-kakak kelasnya di SMA-saling kunjung. Mereka memang sudah seperti saudara.
Bel rumah berbunyi. Pasti ayah Fandi, pikir Asti. Ia langsung membukakan pintu.
“Assalamu’alaikum,” suara orang di balik pintu.
“Wa’a….la…ikumsalam,” balas Asti nyaris tak terdengar, sambil membukakan pintu, yang kembali ditutupnya. Nafasnya tak beraturan, laksana melihat hantu, ia sangat ketakutan.
“Kinan, ijinkan aku masuk, tolong, Kinan,” tamu itu memaksa halus.
“Siapa yang datang? Ayah Fandi, ya? Kok, tidak dipersilakan masuk?” Ibu menghampiri pintu.
E, anu, tidak ada siapa-siapa, kok, Bu. Tadi hanya ada orang iseng,” Asti menjawab sekenanya.
“Masak? Coba Ibu lihat!”
“Ja, jangan, Bu,” Asti mencoba menghalangi. Tapi terlambat, ibu terlanjur sudah membukakan pintu dan melihat Kamal berdiri di depan pintu.
“Assalamu’alaikum,” Kamal kembali menyapa.
“Waalaikumsalam, maaf, Mas ini siapa, ya?” ibu menmyelidik.
“Perkenalkan, Bu, saya Kamal teman Asti dari Jogja.”
“O, alah, mari masuk, silakan duduk. Aduh jauh-jauh dari Jogja, pasti capek. Asti kok tega membiarkan teman yang jauh-jauh datang dari Jogja?”
“Terima kasih, Bu,” Kamal membuntuti ibu ke ruang tamu. Asti hanya diam terpaku. Ia tak tahu harus berbuat apa. Berbagai perasaan, antara senang, benci, tersanjung, dan jengkel, berkecamuk campur aduk jadi satu.
“Asti sini, temani Nak Kamal, sebentar, ya, Nak, Ibu tinggal ke dalam dulu,”
“Ya, Bu, silakan, sekali lagi terima kasih.”
“Kinanti, maafkan aku, tiada maksudku untuk membohongimu, sungguh.”
“Mas, kumohon, jangan banyak omong, kalau tidak mau masalah semakin runyam. Jangan sampai orang tuaku tahu tentang hubungan kita. Tolong, sekarang Mas pulang saja, besok kita selesaikan urusan kita di Jogja.”
“Tapi Ki …,”
Nggak pake tapi-tapian, tolong!”
Bel rumah kembali berbunyi diikuti suara salam. Asti membukakan pintu. Wah, tumben, ayah Fandi datang dengan formasi lengkap? Pikir Asti bingung.
“Waalaikumsalam, mari silakan masuk, Pak, Bu, Mas Fandi,” Asti menjawab sambil mencium tangan ayah dan ibu Fandi.
“Nak Asti kapan pulang?” sapa ibu Fandi.
“Semalam, Bu, oh, ya, perkenalkan, ini Mas Kamal, teman Asti dari Jogja.”
Mereka saling memperkenalkan diri. Asti memanggil orang tuanya.
“Mas Firman, Mbakyu, Nak Fandi, sudah lama ya tidak silaturahmi ke sini? Ini Nak Kamal, teman Asti? Mari-mari silakan duduk,” ayah Asti menyambut mereka diikuti ibu dan Asti yang membawa senampan gelas teh manis yang sudah disiapkan ibu.
Monggo, lo, Kangmas, Mbakyu, Nak Kamal, Nak Fandi, hanya jarang kendel,” Ibu mempersilakan. Asti kembali ke ruang dalam mengambil kue.
“Mari silakan,” Asti mempersilakan, dan bergabung bersama mereka.
“Nak Asti kapan wisuda?” Pak Firman ayah Fandi memulai pembicaraan.
“Insya Allah dua minggu lagi,” jawab Asti.
“O, ya, kebetulan, Mas, saya minta tolong pinjam mobil, dan kalau bisa, Nak Fandi sekalian jadi sopir,” pinta ayah Asti.
“Bisa, bisa, Dik Andi, ah, kayak dengan siapa saja. O, ya, Nak Kamal wisuda bareng Asti juga?”
“Ee, tidak, saya sudah lebih dulu wisuda, tiga tahun yang lalu.”
“Maaf, kalau boleh tahu, Nak Kamal ke sini dalam rangka apa, ya?” Pak Andi, ayah Asti menyelidik. Asti jadi salah tingkah.
“Kebetulan tadi ada seminar di Semarang, jadi saya mampir kemari. Dan sekaligus saya meminta Bapak dan Ibu Andi untuk mengijinkan Asti menjadi istri saya.”
Asti terbelalak, nekat abis ini orang. Semua yang ada di ruang itu juga tak kalah terkejutnya.
“Terima kasih, Nak Kamal sudah memilih anak kami sebagai calon istri, tapi perlu Nak Kamal ketahui, Mas Firman sekeluarga di sini juga mempunyai maksud yang sama. Kami, para orang tua sudah saling menyetujui, tetapi yang akan menjalaninya adalah anak-anak kami, sehingga Mas Firman mau bertanya langsung pada Asti. Bukan begitu, Mas?” ayah Asti berdiplomasi.
“Benar sekali kata Dik Andi tadi. Nah, Nak Asti, kamu sudah mendengar kata-kata Bapakmu tadi. Saya hanya ingin menandaskan, maukah Nak Asti menjadi menantu kami, menjadi istri Fandi?”
Asti tak berkutik, Tuhan, mengapa Kau hadapkan aku pada masalah sepelik ini? Aku serahkan seluruh urusanku pada-Mu. Berikan yang terbaik untukku. Hanya kata-kata itu yang mampu ia lantunkan di dalam hati. Kamal, laki-laki yang simpatik, sangat mencintai dan ia cintai. Tapi ia sudah punya istri. Asti tak mau menyakiti sesamanya.
Fandi juga laki-laki baik, penuh perhatian, dan tidak macam-macam. Asti nyaman menjadi adiknya, merasa terlindungi saat di dekatnya. Tapi untuk menjadi istrinya? Jangankan menjadi istri, membayangkan jadi kekasihnya pun tak pernah terlintas sama sekali.
“Maaf, Mas Firman sekeluarga dan Nak Kamal, saya yakin ini masalah rumit bagi anak kami. Kami berjanji tidak akan melakukan intervensi apapun dalam hal ini. Asti sudah dewasa, sudah bisa mempertimbangkan baik dan buruk untuk masa depannya. Oleh karena itu kami mohon semuanya sabar, mudah-mudahan dalam waktu yang tak terlalu lama Asti bisa menentukan pilihannya. Mari diminum tehnya,” Andi menunjukkan kebijaksanaannya sebagai ayah.
Sejenak Asti bisa bernafas lega. Ia hanya tertunduk. Tak berani memperlihatkan wajahnya. Kamal dan Fandi saling pandang, saling mengukur peluang masing-masing. Menjelang maghrib semua berpamitan. Kamal langsung melarikan sepeda motornya menuju Jogja. Malam itu Asti tak bisa tidur, ia gelisah. Tengah malam ia bangun, mengambil air wudhu memohon petunjuk-Nya.
Pagi hari ia kembali mencoba tidur, tiba-tiba ada pesan singkat masuk. Titis memberitahukan kalau Kamal kritis di RS dr. Sardjito. Semalam ia mengalami kecelakaan dan langsung dibawa ke RS Muntilan, kemudian dirujuk ke Jogja. Asti langsung pingsan. Ia terus menerus mengigau, menyebut nama Kamal. Seisi rumah dibuatnya bingung. Untunglah tak berapa lama ia kembali siuman.
“Bu, aku harus ke Jogja. Mas Kamal kecelakaan,” ucap Asti lirih.
“Ya, tapi kamu harus sehat dulu, nanti kalau ada apa-apa dengan kamu sendiri bagaimana? Ibu, kan, cemas.”
“Aku tak apa-apa, Bu,” Asti memaksa sambil mencoba duduk.
“Ya, sudah, kamu boleh ke Jogja asal ditemani Nak Fandi.”
Di dalam bus, Asti diam seribu bahasa. Air mata tiada henti mengalir di pipinya yang putih. Fandi serba salah.
“Dik Asti, … Dik Asti tak perlu memikirkanku. Aku memang sudah lama menaruh hati padamu. Tapi kau tak menyadarinya, kalau memang Dik Asti akan memilih Kamal, aku ikhlas, asal Dik Asti bahagia, aku pun bahagia.”
Asti semakin terisak. Ia tak mampu berkata-kata.
Sesampai di RS Sardjito, Asti disambut Titis, mereka langsung berlari ke ruang ICU, ia melihat istri Kamal di ruang tunggu ditemani teman dan keluarganya. Asti mengulurkan tangannya, menyampaikan empati.
“Bolehkah saya menjenguk ke dalam?” Asti ragu meminta ijin.
“Silakan, tapi satu per satu, ya,” jawab istri Kamal.
Asti masuk terlebih dulu. Keadaan Kamal semakin membaik, kondisinya sudah stabil. Asti menatap laki-laki yang dicintainya terbujur tak berdaya. Air matanya mengalir deras. Tiba-tiba Kamal membuka matanya, ia mencoba tersenyum.
“Kinanti ….,” sapanya lirih.
“Mas, mengapa harus begini? Aku tak mau kita berakhir seperti ini.”
“Aku mencintaimu,…aku tak mau kehilanganmu.”
“Aku juga mencintaimu, Mas. Mas harus kuat, sabar, Mas,” Asti terisak. Mata Kamal kembali terpejam. Ia tampak menahan rasa sakit. Namun tak berapa lama ia kembali membuka matanya.
“Mas, aku pulang dulu,” Asti berpamitan.
“Jangan Kinan, kau jangan pergi…”
“Mas, lihat istri Mas yang begitu setia mendampingimu,”
“Tapi, aku tidak mencintainya, kami menikah karena perjodohan,”
“Itu bukan alasan, toh cinta bisa dibina, pada saatnya nanti, Mas Kamal akan menyadari kekhilafan kita. Kebersamaan kita telah menyakiti seseorang. Dan orang itu adalah istri Mas. Aku sudah cukup bahagia bisa jalan bersama Mas Kamal, walau hanya sesaat. Biarlah kebersamaan kita menjadi kenangan terindah bagi kita. Dan aku akan merajut kebahagiaanku yang lain bersama Mas Fandi. Rasanya itu lebih adil.”
“Kinanti,”
“Kebahagiaan yang dibangun di atas penderitaan sesama, tidak ada artinya. Itu adalah sesuatu yang semu. Kebahagiaan hakiki, akan memendarkan kebahagiaan bagi sekelilingnya. Selamat tinggal, Mas, selamat meraih kebahagiaan hakiki.” Asti tak kuasa menahan air matanya.

3 comments: