Sunday, June 7, 2020

KADO PERKAWINAN karya HAMSAD RANGKUTI

Sejak bisa mengingat sampai Rabiah tamat SMP, dia tetap merasakan ejekan yang sama, yang selalu dilontarkan orang kepadanya. Ia selalu ingat bahwa orang senantiasa berbisik di belakangnya kalau mereka lagi tidak senang terhadap dirinya. Bisikan itu selalu dapat didengarnya walaupun dari jarak jauh. Terkadang orang mungkin mengatakan yang lain, tetapi ia seperti mendengar ejekan yang sama dilontarkan kepadanya. Dia akan tersinggung mendengar kata-kata itu diucapkan di depannya. Kata-kata yang menyakitkan itu seperti sembilu yang ditusukkan ke ulu hatinya di dalam dada. Kata-kata “gunting”, “pisau cukur”, “sisir”, “pengetam rambut”, adalah semcam cuka yang dicurahkan ke atas luka yang menggores permukaan hati di dalam dadanya itu.

Tadi siang waktu dia mengantarkan surat undangan perkawinannya kepada Sri, teman bekas sekolahnya di SMP, dia dengar orang berbisik waktu ia melintas hendak pulang. Ia dapat menangkap bisikan itu.
“Anak tukang cukur itu mau menikah. Nasibnya baik. Dia mendapatkan jodoh seorang pegawai negeri. Siapa mengira, anak si tukang cukur bisa mendapatkan jodohnya seorang pegawai kantoran. Aku mau anakku juga bisa mendapatkan jodohnya seorang pegawai negeri.”
Begitulah bisik-bisik orang yang didengarnya. “Anak si tukang cukur mendapat jodohnya. Anak si gunting rambut menemukan jodohnya. Anak si gunting rambut akan menikah.”
“Pinjam sisirmu,” kata mereka mengejeknya di sekolah.
“Masak anak si tukang cukur tidak membawa sisir. Mengapa tidak kauambil salah satu sisir ayahmu?” sindir mereka.
Malamnya ia berkata kepada ibunya, “Mengapa ayah menjadi tukang cukur?”
“Mengapa kau bertanya seperti itu, anakku?”
“Mereka mengejekku. Anak si tukang cukur. Kata mereka.”
“Kau malu?”
“Aku malu, Ibu. Kata mereka aku anak si tukang sayat kulit dagu para pejenggot. Hati-hati kalau kau bercukur kepada ayahnya, kata mereka mengejekku, dia tidak bisa membedakan rambut dan alis mata.”
“Kau malu, anakku?”
“Telingaku tebal menahan malu, Ibu. Mengapa ayah memilih pekerjaan tukang cukur? Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan ayah?”
“Semua pekerjaan itu mulia, anakku.” Begitulah si Ibu menasihati anaknya tentang makna sebuah pekerjaan bagi manusia. Kecuali barangkali ibu dari istri seorang maling.

Rabiah selalu ingat bagaimana berat hatinya bila sesekali ia disuruh ibunya untuk mengantar nasi di dalam rantang ke tempat ayahnya mencukur rambut. Ia keluar bersembunyi-sembunyi dari balik rumah untuk membawa rantang itu ke alun-alun. Ayahnya selalu didapatinya tegak berdiri lama-lama di belakang orang yang duduk di atas kursi. Dia lihat rambut berjatuhan ke kulit lengan ayahnya yang memegang ketam cukur. Dia benci melihat ketam cukur itu. Dia benci melihat pisau cukur yang digenggam ayahnya untuk melicinkan ujung rambut yang tumbuh di balik daun telinga, di tengkuk, di pipi, di bawah dagu, dan di bawah lubang hidung orang yang duduk di bangku tukang cukur itu.
Dia benci melihat cermin yang bergoyang ditiup angin bila kendaraan melintas cepat di belakang ayahnya. Dia benci melihat cermin yang bergoyang itu mempermainkan wajah orang yang duduk di depan ayahnya. Ranting-ranting di atasnya kadang terpantul di dalam cermin itu, tetapi Rabiah tidak sempat mempedulikan itu. Dia selalu cepat-cepat saja meletakka rantang di sudut meja cukur ayahnya. Dia tidak pernah berkata lama kepada orang tua itu.

Ia segera pulang membawa uang yang diserahkan ayahnya untuk cepat-cepat dia pergi membeli beras dan membawanya pulang. Dia tidak mau berlama-lama berdiri dekat meja tukang cukur itu. Dia takut kalau-kalau ada salah seorang teman sekolahnya melihat dirinya di tempat tukang cukur itu.
“Dari mana kau? Aku lihat tadi kau membawa rantang,” tanya mereka berbasa-basi. Tetapi teguran itu dirasakannya seperti menyindirnya. “Mengapa mereka selalu melihatku. Mengapa mereka selalu bertanya. Bukankah mereka sudah tahu bahwa aku mengantar rantang untuk ayah. Mereka memang selalu mau mengejekku,” begitu katanya dalam hati.

Rabiah tidak pernah mau menyambut kotak papan tempat alat cukur itu setiap ayahnya pulang. Dia tidak pernah mau menyambut kotak cukur itu sementara ayahnya meletakkan sepedanya di tepi pagar. Kotak papan itu, kalau dia pandai berkata, dia tentu akan berkata seperti ini. “Mengapa kau selalu ingin lari dari kenyataan, Rabiah. Apakah kau tidak sadar bahwa akulah yang memberimu makan sejak bayi sampai kau dewasa. Seharusnya kau sayang kepadaku. Kau tidak boleh benci melihat benda-benda yang kusimpan di dalamnya. Siapa yang membesarkan adik-adikmu? Memberi makan mereka sampai menjadi besar seperti sekarang ini. Siapa yang membelikan bajumu. Siapa yang membelikan bedakmu, membelikan sepatumu, kaos kakimu, buku-bukumu, membayar uang sekolahmu? Siapa, wahai anak gadis pemalu? Mengapa kau lari dari kenyataan itu?”
“Apakah anak si penjaga malam juga mengalami hal yang sama seperti kau? Anak si tukang sapu jalanan itu? Anak si pendorong gerobak sampah itu? Anak si kuli bangunan? Apa yang telah meracuni pikiranmu. Tidakkah kau bersyukur bahwa ayahmu masih mampu mempergunakan alat-alat yang kusimpan di dalam diriku ini? Coba kau bayangkan kalau dia sudah tidak mampu lagi menggerakkan gunting, pengetam rambut, apa jadinya? Coba kau pikirkan siapa yang akan membesarkan adik-adikmu. Siapa yang akan memberi makan nenekmu yang tua. Coba kau pikir, siapa yang akan membelikan daun sirih untuknya. Siapa yang akan membelikan tembakau dan susurnya?”

Tentu saja Rabiah tidak mendengar kata-kata itu semua. Hanya hati nurani anak yang pandai bersyukur yang bisa menangkap ucapan-ucapan yang tidak diucapkan seperti itu. Anak yang tidak pandai bersyukur tentu tidak akan bisa menyuarakan kata-kata seperti itu dari dalam lubuk hatinya.
Mula-mula dia tidak mau mengatakan kepada kekasihnya bahwa dia anak seorang tukang cukur. Dia lama menyembunyikannya. Tetapi, bagaimanapun dia pandai menyembunyikannya, si kekasih akhirnya mengetahuinya juga.
“Mengapa kau malu mengatakannya, Rabiah? Apakah yang membikin kau malu untuk mengatakan hal yang sebenarnya?” Rabiah tidak menjawab pertanyaan kekasihnya.
“Aku bersyukur bisa mendapatkanmu, Sukri. Aku akan bahagia bila telah menjadi istri pegawai negeri. Aku akan bangga, walaupun aku bukan istri seorang pegawai tinggi. Itulah yang telah lama aku cita-citakan, menjadi istri seorang pegawai negeri. Istri si pegawai negeri. Dan orang tentu tidak akan mengatakan lagi, anak si tukang cukur.”

Mendengar kata-kata Rabiah, Sukri tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi masalah seperti itu. Dia tidak mau menyakiti hati Rabiah. Dia masih gadis remaja. Dia masih memiliki mimpi-mimpi seperti yang banyak dialami anak-anak remaja. Rabiah belum siap menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya. Biarkanlah Rabiah berperasaan seperti itu. Banyak alasan orang mengapa dia malu pada apa yang dia sendiri tidak bisa menghindarinya.
“Apa yang kau inginkan sebagai kado perkawinan kita, Rabiah? Mintalah, Rabiah. Mungkin aku bisa membelikannya,” kata Sukri suatu kali kepada keksaihnya itu.
“Aku tidak menginginkan yang bukan-bukan, Sukri. Kemiskinan telah membiasakanku untuk menerima apa adanya. Kau tidak usah memikirkan tentang kado. Dirimu adalah kado yang tak ternilai bagiku. Kau telah memberi kado begitu kau telah mengucapkan akad nikah memperistrikanku. Sebab kado itu telah kau berikan kepadaku: istri seorang pegawai negeri. Itulah kado yang paling berharga yang pernah kudapatkan. Jangan pikirkan kado yang tidak-tidak, sayang.”
Sukri berbahagia mendengar ucapan kekasihnya. Dia tidak mengira Rabiah akan berkata  seperti itu. Dia tidak mengira anak si tukang cukur itu berkata semacam itu. Apa yang telah menutupi dirinya selama ini dan apa pula yang telah membuka selaput yang tidak pernah merasa bersyukur itu selama ini. Betapa ejekan-ejekan yang diterimanya sejak ia bisa mengartikan kata-kata itu tentang sebutan anak si tukang cukur telah merusak jiwanya yang luhur, tidak ubahnya pisau yang tumpul diasah terus-menerus.

Sekarang terwujudlah impiannya untuk menanggalkan sebutan anak si tukang cukur itu dari dirinya. Malam ini adalah pesta menanggalkan sebutan itu, sekaligus pesta itu juga akan meresmikan sebutan baru yang akan melekat pada dirinya.
Tadi pagi penghulu telah menikahkannya dengan Sukri, kekasihnya. Sejak itu dia telah menanggalkan sebutan itu. Pada tempatnya yang sekarang, orang akan melupakan dari mana dia datang sebelumnya. Orang akan menyebutnya: Nyonya Sukri. Istri pegawai negeri.

Tetapi orang masih tetap mengatakan bahwa malam ini adalah malam pesta perkawinan anak si tukang cukur. Apakah Rabiah mendengar sebutan itu? Dia sudah tidak memikirkannya. Dia ingin cepat-cepat saja malam itu berlalu. Dia ingin cepat melihat tukang-tukang cukur teman-teman ayahnya berlalu meninggalkan pesta perkawinan itu. Mereka tidak membawa kado. Tukang-tukang cukur itu hanya bersalaman menyelipkan uang pecahan ke dalam genggaman ayahnya di dalam amplop berwarna.

Tukang-tukang cukur itu telah berganti dengan tamu-tamu para pegawai negeri kerabat suaminya, si pengantin lelaki itu. Pegawai-pegawai negeri itu datang menunjukkan sikap yang saling ingin melebihi di antara mereka. Rabiah merasa bahagia menerima ucapan selamat dari mereka. Lihatlah, mereka datang membawa kado-kado, sedang tukang-tukang cukur itu tidak membawa kado sebuah pun. Mereka tidak mempunyai duit untuk membeli kado. Padahal kado, menurut anak perempuan itu, adalah perlambang dari orang yang hidup di alam modern.

Pesta telah sepi. Rabiah dan Sukri turun dari atas pelaminan. Mereka berdua masuk ke dalam kamar pengantin. Kado-kado itu tertumpuk di atas tempat tidur.
Mereka membuka kado-kado itu. Kado itu dibuka dari bungkusnya. Seolah kado-kado itu melambangkan kenyataan hidup ini. Berapa lamalah kado bisa menyembunyikan isinya untuk tidak dapat dilihat orang. Rabiah membuka kado-kado itu untuk melihat apa yang tersimpan di dalamnya. Dan kado itu pun terbuka dari pembungkusnya untuk mengguncangkan hati Rabiah. Ia tidak yakin dengan apa yang ada dalam kotak karton pembungkusnya. Mungkinkah orang ingin mengingatkan tentang pekerjaan ayahnya. Atau mungkin orang mengirim kado untuk ayahnya. Tetapi mengapa orang menulis begitu di atas kertas ucapan selamat. Ia tidak yakin dengan apa yang dibacanya. Ia mengulanginya. Tulisan itu tidak mengubah artinya walau beberapa kali dibacanya, “Selamat menempuh hidup baru. Terimalah pemberian teman-teman sekantor, Sukri. Mungkin kau memerlukannya di luar dinas untuk mencari penghasilan tambahan. Kami sadar, begitu orang masuk ke dalam dunia rumah tangga, beban hidup akan terus-menerus bertambah.”
“Apakah kado itu tidak keliru dikirimkan untukmu, Sukri? Apakah tidak mungkin mereka mengirimkannya untuk ayahku?”
“Mereka tidak keliru, sayang. Aku memang tidak pernah mau mengatakannya kepadamu selama ini, sayang. Aku tidak mau merusak impianmu. Aku tidak mau mengecewakanmu. Aku hanya ingin membawamu kepada kenyataan itu sendiri.”
“Apakah maksudmu, suamiku?”
“Kau tidak boleh kecewa, sayang. Semua pekerjaan itu mulia. Aku adalah tukang cukur di kantorku. Aku mencukur para pegawai di departemen. Banyak pegawai seperti aku. Para pegawai tidak perlu membuang waktunya untuk bercukur di luar kantor. Kau jangan kecewa, sayang. Kau harus menyadari, bahwa semua pekerjaan yang halal itu mulia, sayang. Kau jangan menangis, istriku. Aku tukang cukur di kantorku.”
“Mengapa kau tidak mengatakannya sejak dulu? Kau tidak jujur terhadap diriku.”
“Aku tidak ingin merusak impianmu. Lagipula menurut perkiraanku, kau tentu tidak akan mengetahuinya. Aku hanya ingin menjaga impianmu. Dan sekarang kuharap kau sudah terbangun dari tidurmu.”
Rabiah menangis. Dia mendekap erat suaminya. Air matanya menetes ke atas baju pengantin lelaki itu. Malam pengantin itu menjadi tidak seindah dari apa yang telah dibayangkannya. Ia makin menangis entah untuk berapa lama.
“Berkurangkah cintamu kepadaku, begitu kau tahu siapa aku, sayang?”
Wanita itu tidak menjawab pertanyaan suaminya. Dia terus saja menangis sampai dia tertidur di dalam dekapan suaminya.

Pada pagi hari ia terbangun oleh kesibukan orang di luar kamar pengantin mereka. Rabiah mendapatkan dirinya masih tetap dalam pelukan suaminya, yang tidur tersandar di dinding kamar pengantin itu. Dia bangun dari pangkuan suaminya. Ia baringkan kepala suaminya di atas bantal. Dia benarkan letak badan suaminya di atas tempat tidur. Dia pandangi tukang cukur itu tidur lelap di bawah kain selimut yang ditutupkannya sendiri. Ia menangis melihat laki-laki yang terbaring itu. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya. Dia menciumnya sampai rasa menyayat di hatinya berangsur lenyap. Dia mendekap lelaki yang tertidur itu. Lama ia berbuat seperti itu sampai pada akhirnya dia memandangi kotak kado yang berisikan alat-alat cukur itu. Dia mendekatkan wajahnya ke kotak itu. Dia buka tutupnya pelan-pelan. Meraba benda itu dengan jari-jarinya yang lembut. Menutup kotak itu kembali, dan dia melekatkan pipinya yang basah di atas kotak itu, Air matanya jatuh membasahi kotak penyimpan alat-alat cukur itu.

Di beranda dia dengar ayahnya mengeluarkan sepeda. Orang tua itu sungguh mencintai pekerjaannya. Dia telah bersiap-siap untuk berangkat kerja meskipun pagi itu pagi pertama hari perkawinan anak gadisnya. Rabiah turun dari atas tempat tidur itu dan membuka pintu. Dia pergi ke ruang tengah. Ayahnya mendorong sepeda ke pekarangan. Orang tua itu menyandarkan sepedanya di tepi pagar. Tukang cukur itu telah bersiap-siap untuk masuk mengambil kotak cukurnya di dalam kamar. Rabiah memandang ayahnya. Baru kali ini dia dapat melihat betapa menderita orang tua itu, berdiri sehari penuh di bawah pohon, dimandikan panas matahari. Rabiah berlari mengambil peti alat cukur ayahnya dari dalam kamar ayahnya. Membawanya berlari ke hadapan orang tua itu. Dan begitu sampai ke depan ayahnya, dia terus mendekap orang tua itu. Dia menangis mendekap ayahnya. Peti alat cukur itu menggelantung di dalam pegangannya di belakang tubuh ayahnya. Tukang cukur itu tidak tahu apa penyebab tangis anaknya.
                                                    (“Lukisan Perkawinan”, Sinar Harapan, hal. 154-162)

No comments:

Post a Comment