Saturday, February 24, 2018

Sempurnalah Kebahagiaanku

Dua puluh satu tahun yang lalu, tak kan pernah kulupakan. Saat-saat menghadapi persalinan masih melekat erat di ingatanku. Hari itu Ahad, karena libur Mas Inu menyempatkan diri untuk nukang; melapisi lantai bagian teras belakang dan dapur dengan adukan semen dan pasir (plester). Karena perutku sudah besar tinggal nunggu persalinan terpaksa tidak bisa membantu Mas Inu. Tapi kutunggui saja sudah cukup menyenangkan Mas Inu. Biasanya kami nukang berdua, lho...
Sore harinya aku periksa ke bidan sendiri tanpa ditemani suami. Ternyata menurut bidan bayi di dalam kandunganku sudah mau lahir maju sekitar 10 hari dari perkiraan. Tapi aku belum merasakan kontraksi. Jadi aku putuskan untuk pulang sambil mencoba menghubungi Mak'e yang tinggal di Kaliwungu, sekitar 10 km dari tempat tinggal kami atau sekitar 20-30 menit naik angkutan umum. Saat itu kami belum memiliki telepon. Kalau Mas Inu ninggal aku ke Kaliwungu khawatir terjadi sesuatu padaku dan bayiku. Maka aku usul, numpang telepon ke tetangga saja. Mas Inu setuju dan langsung ke wartel nelpon Pak Solichin Kampung Kenduruan tetangga kampung orang tua kami sekalian minta tolong agar menyampaikan ke Pak Wiroso untuk meminta Mak'e ke Kendal sekarang juga karena cucunya sudah mau lahir.

Singkat cerita, sekitar jam 20.00 WIB Mak'e dan Yuk Tukhah sampai di rumah kami. Agak bingung juga melihatku masih duduk-duduk di rumah. Mak'e pun menyuruhku untuk segera ke rumah bidan yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumah kami. Kami memang menunggu Mak'e datang agar Ica, anak pertama kami ada yang menemani di rumah.

Tiga kali hamil (yang kedua keguguran) aku tidak pernah ngidam apapun. Tapi melahirkannya pake lama. Yang anak pertama awal kontraksi jam 03.00 dini hari, baru lahir isya. Rupanya hal itu terulang lagi. Awal kontraksi bar isya baru lahir persis bareng adzan subuh.

Sekali lagi suamiku menunjukkan kehebatannya. Setelah seharian tidak istirahat, malam itu pun ikut begadang tidak tidur menemaniku yang akan melahirkan. Padahal biasanya kalau sampai tengah malam tidak tidur langsung masuk angin, lho... Saat itu dengan penuh kesetiaan dia mendampingiku, menyuapi teh, kopi, juga telur ayam mentah untuk menambah kekuatanku. Saat kesakitan aku berteriak-teriak menyebut nama Allah. Suami nampak kebingungan tak tahu harus berbuat apa. Saat sakitnya reda kami pun ngobrol. Tak tahu mengapa, setiap kali mau melahirkan aku selalu merasa seolah-olah itulah saat terakhirku. Maka tak kulewatkan kesempatan untuk minta maaf pada suamiku. "Mas, maafkan segala kekhilafanku, ya?"
"Ridhoi aku, ya, Mas." Kata-kata itu berulang kali kuucapkan. Suami selalu menjawab, "Iya..."
_"Jalukke ngapuro karo Mak'e, ya, Mas_,"
 _"Jalukke ngapuro karo kabeh wong, yo_."
"Iyo..." Mas Inu selalu menjawab. Sampai aku bertanya, "Mas, _nek aku mati piye_?"
Tak disangka tak dinyana, Mas Inu menjawab,  _"Yo ngko tak kubur_"
Bu Bidan sampai terkejut, _"Mbok ampun ngaten, Pak_"
_"Lha nek mboten dikubur mangkih medeni tonggo."_
_"Tapi nggih, ampun njawab ngaten... niki ibuke, kan, nembe toh nyowo"_
Mas Inu, ya, aneh... bukannya dibesarkan hati istri yang ketakutan kalau sampai harus mati saat melahirkan, malah dijawab dengan bercanda.
Mestinya, kan, dikuatkan, "Tidak, sayang, kau tidak akan mati sekarang, kita akan mendidik dan membesarkan anak - anak kita berdua, sampai mereka berhasil menjadi orang yang sukses."

Ketakutanku semakin bertambah, aku takut kalau anakku lahir cacat. Soalnya hamil kali ini kami sudah hidup terpisah dari orang tua. Orang tua Jawa selalu banyak sekali pantangan untuk orang hamil atau untuk suami yang istrinya sedang hamil. Dan ternyata aku Jawa tulen. Meski tidak percaya dengan segala macam takhayul yang diyakini sebagian besar orang, ada sedikit kekhawatiran juga. Bagai video yang diputar ulang di hadapanku, segalanya nampak sangat nyata, karena rumah kami rumah mewah _(mepet sawah)_di pinggir sawah, banyak binatang yang bertamu di rumah kami tanpa diundang. Serasa di kebun binatang pokoknya. Sehingga hampir tiap hari Mas Inu membunuh ular dan tikus, menutup rumah yuyu _(nablek leng)_ dan sebagainya. Maka aku pun khawatir kalau anakku yang akan lahir sampai cacat.
Menjelang tengah malam anakku tak kunjung lahir, aku iseng bertanya kepada Bu Bidan. "Bu, biasanya kalau masuk jam 8 malam kira - kira bayi lahir jam berapa, ya?"
"Tiap orang beda - beda, Bu, ada yang cepet, ada yang sampai 2-3 hari."
Tapi kalau seperti njenengan biasanya sekitar jam 12 atau jam 1 sudah lahir."
Aamiin...
Dan jam 1 pun berlalu, hampir kehilangan kesabaran aku bertanya hal yang tidak penting dan tidak bermutu.
"Bu, sudah jam 1 kok anakku belum lahir?"
_"Bu, njenengan kan sampun pirsa,_ kalau lahir, mati, jodoh, dan rezeki adalah rahasia Allah. Kita merencanakan kalau Allah belum berkehendak, ya, tak akan terjadi."

Akhirnya setelah diserang kantuk yang sangat, Bidan memintaku untuk mengejan. Tapi aku ngantuk sekali... " Ayo, Bu, kasihan putrane, dia sudah berusaha dengan keras, tanpa kerja sama njenengan, ibuke, usahanya akan sia-sia."
Maka dengan berjuang melawan kantuk aku pun mengejan sekuat-kuatnya. Hampir satu jam aku berusaha sampai hampir putus asa. Akhirnya, bersamaan dengan suara adzan, hari Senin, 24 Februari 1997, anakku lahir normal, sehat dengan berat 3,8kg dan panjang 49cm.
Bayiku langsung dibersihkan Bu Bidan, baru kemudian membersihkan aku. Aku penasaran karena belum melihat bayiku dengan cermat. Masih ada kekhawatiran yang menyeruak di hatiku. Apakah anakku lahir sempurna, tanpa cacat sedikitpun? Maka aku agak memaksa Mas Inu untuk mengambilkan bayiku. Bayi yang sudah dibedong rapi kulepas. Kuperiksa dengan teliti seluruh tubuhnya. Matanya, hidungnya, mulutnya, telinganya tidak ada yang aneh. Kuhitung jari-jari tangan dan kakinya, lengkap. Alhamdulillah, ya, Allah, terima kasih atas karunia-Mu, anak laki-laki yang sehat, lengkap, menyempurnakan kebahagiaan kami setelah memiliki anak pertama perempuan.

Setelah beres semua, Mas Inu pulang membawa ari-ari untuk dikubur dan salat subuh. Mak'e dan Ica datang melihat cucu dan adiknya. Aku merasa ingin ke kamar mandi, tapi saat mencoba turun aduuh... kakiku sakit sekali. Rasanya telapak kakiku seperti ditusuk-tusuk jarum. Aku tak bisa turun dari tempat tidur. Selanjutnya lebih parah lagi. Kakiku lumpuh. Tak bisa digerakkan. Astaghfifullah... ampuni segala kekhilafanku, ya, Rob. Mas Inu tidak mengetahui hal ini karena dia sudah berangkat kerja. Bidan juga berangkat ke Puskesmas. Untung ada Mak'e. Mak'e is my hero. Mak'e memang tak ubahnya bagai seorang dukun bayi. Karena banyak sekali merawat bayi baik anak-anaknya, maupun anak keponakan. Kakiku pun diurut Mak'e dengan minyak goreng minta pembantu di rumah Bidan. Baru sore harinya kami pulang ke rumah. Kakiku sudah bisa digerakkan tapi masih sakit. Rasa sakit yang pelan-pelan mulai berganti dengan kebahagiaan merawat anak yang kami beri nama FAHRI NUHA MUHAMMAD RISYAD. Semoga menjadi orang yang senang berpikir, mulia dan teguh pendirian (istiqomah) di jalan Allah.

No comments:

Post a Comment