Saturday, May 9, 2020

Catatan Isolasi Mandiri


Hari kedelapan Isolasi Mandiri

Tak ada Bu Endang, sekolah sepi, tulis Dik Anti di group WhatsApp Guru. Walah Dik, kami serumah sedang isolasi mandiri di rumah, balasku. Langsung geger group WA, ada apa? Bu Endang dari mana, kok harus isolasi? Satu per satu pertanyaan yang berseliweran kujawab. Rupanya saya tukang bikin geger, hihihi. Saya termasuk guru yang sering hadir di sekolah selama KBM di rumah. Maklum sekolah dekat dengan rumah kami, hanya berjarak kurang dari 500 meter.

Dik Anti guru honorer di sekolah kami. Dia bertemu jodoh di tempat mengajar, ya, di sekolah kami ini. Suaminya Pak Mirza juga guru honorer. Lulus SMA, Dik Anti mengikuti UMPTN dan diterima kuliah di Unnes jurusan Pendidikan Kimia, sebetulnya bukan Kimia yang dituju, dia ingin kuliah jurusan Biologi.

Kecintaannya pada Biologi mendapat penyaluran saat ada Lomba Kompetensi Siswa (LKS) Mapel Biologi. Dia membimbing siswa mengikuti LKS Biologi tingkat Kabupaten Kendal dan berhasil meraih Juara I. yang menimbulkan kontroversi karena sekolah kami tidak ada pelajaran Biologi, kok menjadi juara LKS Biologi?

 Selain pintar, Dik Anti juga tegas dan teguh memegang prinsip. Saya banyak belajar darinya. Satu ujian hidup yang mungkin tak sanggup saya menanggungnya. Seperti biasa yang terjadi di masyarakat kita, pertanyaan yang ‘menuntut.’ Jika sudah lulus kuliah, kerja di mana? Sudah punya pacar? Kapan menikah? Anaknya berapa? Sudah lama menikah kok belum punya momongan? Dan sederet pertanyaan lain yang tanpa disadari sering menimbulkan frustasi pihak yang ditanya.

Dik Anti juga menerima berondongan pertanyaan itu. Dan hamper dua tahun pernikahan tak kunjung ada tanda-tanda kehamilan. Demi ketenangan akhirnya datanglah Dik Anti dan suami ke dokter kandungan. Setelah beberapa kali konsultasi dan periksa, akhirnya hasil diagnosis Dik Anti keluar. Rahim Dik Anti retrofleksi. Rahimnya terbalik. Kedua tubafalopinya tertutup, praktis tidak ada sel telur yang bisa keluar. Banyak kasus perempuan mengalami penyumbatan tubafalopi dan akan Kembali normal setelah dilakukan tindakan laparoscopy. Kasus Dik Anti sangat berbeda, tindakan itu tidak dapat dilakukan untuknya. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah tiup atau operasi (laparoscopy) tapi kemungkinan berhasilnya sangat rendah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dik Anti merasakan seolah langit runtuh karena divonis dokter : kemungkinannya untuk bisa hamil 0 %, tidak bisa hamil. Seketika dia menyarankan suaminya untuk mencari istri lagi. Poligami_suatu keadaan yang tidak pernah diinginkan oleh perempuan manapun. Beruntung Pak Mirza sabar menghadapi sikap Dik Anti yang emosional. Dia berusaha menenangkan istrinya. “Aku mencintaimu dan akan tetap bersamamu sampai ke surga, ada ataupun tiada anak.”

Beberapa hari kemudian hasil diagnosis Pak Mirza keluar, tak kalah mengejutkan, sperma Pak Mirza dinyatakan lemah karena jumlahnya hanya 1/10 dari jumlah sperma lelaki normal. Dunia benar-benar kiamat dirasakan Dik Anti. Dia langsung minta cerai, untuk apa menikah jika tujuan pernikahan tidak tercapai? Tidak memiliki keturunan. Dengan susah payah Pak Mirza meyakinkan istrinya. Bahwa banyak keluarga yang tetap berbahagia meskipun tidak bisa memiliki keturunan. Banyak anak-anak yang bisa kita asuh selayaknya anak sendiri.

Kesabaran Pak Mirza meluluhkan hati Dik Anti. Dik Anti merasa dosanya memenuhi langit dan bumi. Dia pun bertobat, mohon ampun kepada Allah atas segala kekhilafan, atas segala kesalahan, tidak pernah bersyukur, dianugerahi suami yang baik, orang tua yang penuh kasih sayang. Dia pun bersujud minta maaf kepada suami dan ibunya, satu-satunya orang tua yang masih hidup.

Dik Anti mencoba realistis. Hitung-hitungan secara Matematis, tidak memungkinkan untuk melakukan terapi ke dokter spesialis kandungan berdua. Minimal per bulan membutuhkan dana dalam  kisaran Rp 6 juta. Penghasilan mereka tidak sampai angka itu. Tabungan yang tersimpan pun hanya cukup untuk terapi satu setengah bulan. Hasilnya juga tidak bisa diharapkan. Maka mereka memutuskan untuk bertransaksi langsung kepada Allah, Tuhan semesta alam. Dia yang membuat penyakit, Dia juga yang bisa menyembuhkannya. Setiap malam mereka menangis di atas sajadah, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada-Nya. Seluruh tabungan, beberapa perhiasan kecuali sepeda motor semua disedekahkan ke panti asuhan. Selain itu mereka juga mencari pengobatan alternatif, dokter herbal, dr. Ahmad Ali Ridho, Semarang.

“Bu Endang, titip infak, ini semua honor saya dari sekolah. Saya cukup menerima nafkah dari suami.” Kata Dik Anti suatu ketika.
“Untuk siapa, Dik?” selidik saya.
“Terserah Bu Endang”
“Untuk saya?”
“Kalau Bu Endang doyan, silahkan!”

Dik Anti merasa tidak ada gunanya menabung, menyisihkan uang, buat apa memliki uang banyak? Mau buat apa? Untuk siapa? Maka honor Dik Anti selama beberapa bulan diserahkan kepada saya sebagai infak. Infak yang dititikan kepada saya, saya serahkan ke panti asuhan dan mohon didoakan agar yang berinfak diberikan kesempatan untuk mendapatkan keturunan oleh Allah. Jika Allah berkehendak, kun fayakun. Tanpa tindakan medis, tanpa ditiup, tanpa laparoscopy, tanpa Pak Mirza melakukan suntikan hormon, alhamdulillah Dik Anti dinyatakan positif hamil.

Ternyata ujian untuk Dik Anti belum selesai. Begitu hamil, tidak ada makanan yang bisa masuk ke lambungnya. Semua keluar dimuntahkan. Dik Anti yang kurus semakin kurus kering. Beberapa kali harus dirawat inap di rumah sakit. Sembilan bulan penuh tidak pernah merasakan kondisi nyaman. Pernah Dokter menyarankan untuk diaborsi karena membahayakan kesehatan ibunya. Dik Anti tidak mau. Dia bersikeras mempertahankan bayinya. Bayi yang sangat didambakannya.

Alhamdulillah setelah perjuangan panjang dan pertaruhan nyawa, Dik Anti berhasil melahirkan putri yang cantik. Rasa syukur tak terhingga atas karunia Allah, mereka berkesempatan memiliki buah hati, Iza putri yang didambakan. Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah. (Q.S. At Taubah : 75). Semoga Dik Anti dan keluarganya juga kita semua termasuk golongan orang-orang yang sholeh.

Sebagai rasa syukur Dik Anti curahkan perhatian dan kasih sayang untuk putri kecilnya, hingga tumbuh menjadi putri yang manis dan membahagiakan keluarga. Iza tumbuh sebagai anak yang sehat karena ibunya kuat. Dik Anti menyadari kesulitannya mendapatkan keturunan, maka dia pun tak berani berharap menambah anak lagi. Satu pun sudah cukup, yang penting bisa mendapatkan keturunan.

Kebahagiaan yang dirasakannya membuat waktu berjalan sangat cepat. Dua tahun sudah usia Iza, tak disadari kalau ternyata Dik Anti diberi amanat lagi oleh Allah. Tanpa diminta pun Allah berikan. Dik Anti hamil lagi. Dik Anti baru menyadari kehamilannya saat semua makanan yang dia makan keluar. Dikira sakit maghnya kambuh sampai opname di rumah sakit.

Hal yang sama saat hamil pertama pun terjadi. Kondisi Dik Anti lemah dan semakin payah. Rumah sakit kembali menjadi langganan. Keluar masuk rumah sakit selama Sembilan bulan mengandung anak kedua. Dan setelah genap, lahirlah Aqila, putri yang melengkapi kebahagiaan mereka. Anugerah itu semakin mendekatkan mereka kepada Allah Sang Khalik.

No comments:

Post a Comment