Hari kedelapan Isolasi Mandiri
Tak ada Bu Endang, sekolah sepi,
tulis Dik Anti di group WhatsApp Guru. Walah Dik, kami serumah sedang isolasi
mandiri di rumah, balasku. Langsung geger group WA, ada apa? Bu Endang dari
mana, kok harus isolasi? Satu per satu pertanyaan yang berseliweran kujawab.
Rupanya saya tukang bikin geger, hihihi. Saya termasuk guru yang sering hadir
di sekolah selama KBM di rumah. Maklum sekolah dekat dengan rumah kami, hanya
berjarak kurang dari 500 meter.
Dik Anti guru honorer di sekolah
kami. Dia bertemu jodoh di tempat mengajar, ya, di sekolah kami ini. Suaminya
Pak Mirza juga guru honorer. Lulus SMA, Dik Anti mengikuti UMPTN dan diterima kuliah
di Unnes jurusan Pendidikan Kimia, sebetulnya bukan Kimia yang dituju, dia
ingin kuliah jurusan Biologi.
Kecintaannya pada Biologi mendapat
penyaluran saat ada Lomba Kompetensi Siswa (LKS) Mapel Biologi. Dia membimbing
siswa mengikuti LKS Biologi tingkat Kabupaten Kendal dan berhasil meraih Juara
I. yang menimbulkan kontroversi karena sekolah kami tidak ada pelajaran
Biologi, kok menjadi juara LKS Biologi?
Selain pintar, Dik Anti juga tegas dan teguh
memegang prinsip. Saya banyak belajar darinya. Satu ujian hidup yang mungkin
tak sanggup saya menanggungnya. Seperti biasa yang terjadi di masyarakat kita,
pertanyaan yang ‘menuntut.’ Jika sudah lulus kuliah, kerja di mana? Sudah punya
pacar? Kapan menikah? Anaknya berapa? Sudah lama menikah kok belum punya
momongan? Dan sederet pertanyaan lain yang tanpa disadari sering menimbulkan
frustasi pihak yang ditanya.
Dik Anti juga menerima berondongan
pertanyaan itu. Dan hamper dua tahun pernikahan tak kunjung ada tanda-tanda
kehamilan. Demi ketenangan akhirnya datanglah Dik Anti dan suami ke dokter
kandungan. Setelah beberapa kali konsultasi dan periksa, akhirnya hasil
diagnosis Dik Anti keluar. Rahim Dik Anti retrofleksi. Rahimnya terbalik. Kedua
tubafalopinya tertutup, praktis tidak ada sel telur yang bisa keluar. Banyak
kasus perempuan mengalami penyumbatan tubafalopi dan akan Kembali normal
setelah dilakukan tindakan laparoscopy. Kasus Dik Anti sangat berbeda, tindakan
itu tidak dapat dilakukan untuknya. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah tiup
atau operasi (laparoscopy) tapi kemungkinan berhasilnya sangat rendah dan
membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dik Anti merasakan seolah langit
runtuh karena divonis dokter : kemungkinannya untuk bisa hamil 0 %, tidak bisa
hamil. Seketika dia menyarankan suaminya untuk mencari istri lagi.
Poligami_suatu keadaan yang tidak pernah diinginkan oleh perempuan manapun.
Beruntung Pak Mirza sabar menghadapi sikap Dik Anti yang emosional. Dia
berusaha menenangkan istrinya. “Aku mencintaimu dan akan tetap bersamamu sampai
ke surga, ada ataupun tiada anak.”
Beberapa hari kemudian hasil
diagnosis Pak Mirza keluar, tak kalah mengejutkan, sperma Pak Mirza dinyatakan
lemah karena jumlahnya hanya 1/10 dari jumlah sperma lelaki normal. Dunia
benar-benar kiamat dirasakan Dik Anti. Dia langsung minta cerai, untuk apa
menikah jika tujuan pernikahan tidak tercapai? Tidak memiliki keturunan. Dengan
susah payah Pak Mirza meyakinkan istrinya. Bahwa banyak keluarga yang tetap
berbahagia meskipun tidak bisa memiliki keturunan. Banyak anak-anak yang bisa
kita asuh selayaknya anak sendiri.
Kesabaran Pak Mirza meluluhkan hati
Dik Anti. Dik Anti merasa dosanya memenuhi langit dan bumi. Dia pun bertobat,
mohon ampun kepada Allah atas segala kekhilafan, atas segala kesalahan, tidak
pernah bersyukur, dianugerahi suami yang baik, orang tua yang penuh kasih
sayang. Dia pun bersujud minta maaf kepada suami dan ibunya, satu-satunya orang
tua yang masih hidup.
Dik Anti mencoba realistis.
Hitung-hitungan secara Matematis, tidak memungkinkan untuk melakukan terapi ke
dokter spesialis kandungan berdua. Minimal per bulan membutuhkan dana dalam kisaran Rp 6 juta. Penghasilan mereka tidak
sampai angka itu. Tabungan yang tersimpan pun hanya cukup untuk terapi satu
setengah bulan. Hasilnya juga tidak bisa diharapkan. Maka mereka memutuskan
untuk bertransaksi langsung kepada Allah, Tuhan semesta alam. Dia yang membuat
penyakit, Dia juga yang bisa menyembuhkannya. Setiap malam mereka menangis di
atas sajadah, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada-Nya. Seluruh tabungan,
beberapa perhiasan kecuali sepeda motor semua disedekahkan ke panti asuhan.
Selain itu mereka juga mencari pengobatan alternatif, dokter herbal, dr. Ahmad
Ali Ridho, Semarang.
“Bu Endang, titip infak, ini semua
honor saya dari sekolah. Saya cukup menerima nafkah dari suami.” Kata Dik Anti
suatu ketika.
“Untuk siapa, Dik?” selidik saya.
“Terserah Bu Endang”
“Untuk saya?”
“Kalau Bu Endang doyan, silahkan!”
Dik Anti merasa tidak ada gunanya
menabung, menyisihkan uang, buat apa memliki uang banyak? Mau buat apa? Untuk
siapa? Maka honor Dik Anti selama beberapa bulan diserahkan kepada saya sebagai
infak. Infak yang dititikan kepada saya, saya serahkan ke panti asuhan dan
mohon didoakan agar yang berinfak diberikan kesempatan untuk mendapatkan
keturunan oleh Allah. Jika Allah berkehendak, kun fayakun. Tanpa tindakan
medis, tanpa ditiup, tanpa laparoscopy, tanpa Pak Mirza melakukan suntikan
hormon, alhamdulillah Dik Anti dinyatakan positif hamil.
Ternyata ujian untuk Dik Anti belum
selesai. Begitu hamil, tidak ada makanan yang bisa masuk ke lambungnya. Semua
keluar dimuntahkan. Dik Anti yang kurus semakin kurus kering. Beberapa kali
harus dirawat inap di rumah sakit. Sembilan bulan penuh tidak pernah merasakan
kondisi nyaman. Pernah Dokter menyarankan untuk diaborsi karena membahayakan kesehatan
ibunya. Dik Anti tidak mau. Dia bersikeras mempertahankan bayinya. Bayi yang
sangat didambakannya.
Alhamdulillah setelah perjuangan panjang
dan pertaruhan nyawa, Dik Anti berhasil melahirkan putri yang cantik. Rasa
syukur tak terhingga atas karunia Allah, mereka berkesempatan memiliki buah
hati, Iza putri yang didambakan. Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya
kepada kami, pastilah kami akan bersedekah. (Q.S. At Taubah : 75). Semoga Dik
Anti dan keluarganya juga kita semua termasuk golongan orang-orang yang sholeh.
Sebagai rasa syukur Dik Anti
curahkan perhatian dan kasih sayang untuk putri kecilnya, hingga tumbuh menjadi
putri yang manis dan membahagiakan keluarga. Iza tumbuh sebagai anak yang sehat
karena ibunya kuat. Dik Anti menyadari kesulitannya mendapatkan keturunan, maka
dia pun tak berani berharap menambah anak lagi. Satu pun sudah cukup, yang
penting bisa mendapatkan keturunan.
Kebahagiaan yang dirasakannya
membuat waktu berjalan sangat cepat. Dua tahun sudah usia Iza, tak disadari
kalau ternyata Dik Anti diberi amanat lagi oleh Allah. Tanpa diminta pun Allah
berikan. Dik Anti hamil lagi. Dik Anti baru menyadari kehamilannya saat semua
makanan yang dia makan keluar. Dikira sakit maghnya kambuh sampai opname di rumah
sakit.
Hal yang sama saat hamil pertama pun
terjadi. Kondisi Dik Anti lemah dan semakin payah. Rumah sakit kembali menjadi
langganan. Keluar masuk rumah sakit selama Sembilan bulan mengandung anak
kedua. Dan setelah genap, lahirlah Aqila, putri yang melengkapi kebahagiaan
mereka. Anugerah itu semakin mendekatkan mereka kepada Allah Sang Khalik.
No comments:
Post a Comment