Sewaktu Ica mau masuk Pesantren Putri Al Mawaddah Ponorogo, awal Tahun Pelajaran 2004/2005, adiknya, Fahri Nuha Muhammad Risyad yang biasa kami sapa Nuha klayu (mau ikut mondok juga). Kami bingung, serasa berada di persimpangan jalan. Mau mengizinkan, dia masih kecil,-waktu itu baru naik kelas 2 SD. Mau melarang, masak mau masuk pesantren kok dilarang?
Akhirnya kami bulatkan tekad mengizinkannya masuk Pesantren Al Muqodasah Ponorogo (dekat Gontor). Luar biasa kami melihat kebulatan tekadnya. Dites sampai tengah malam pun dijalaninya. dan dengan menahan air mata dan mengucapkan bismillahirrohmanirrohim, kami meninggalkannya di "penjara suci", dengan harapan semoga ia mendapatkan bekal ilmu agama yang memadai.
Kulihat suamiku menitikkan air mata. Rasanya bukan air mata cengeng atau sentimentil, tapi justru air mata tanggung jawab, menurutku. Setiap kali kami makan, selalu terlontar kata-kata,"Nuha makan apa, ya?" Bahkan demi solidaritas, dipan tempat tidur kami pun dilipat. kami letakkan kasur di lantai. Karena anak-anak kami tidur di kasur tipis di atas lantai-tanpa dipan.
Sebulan telah berlalu. Peraturan pesantren tidak mengizinkan orang tua menjenguk anak pada bulan pertama, dan baru diizinkan setelah bulan ke dua. Tapi karena rindu kami tak tertahankan, setelah berpisah satu bulan dengan anak-anak, kami pun nekat, memaksa mendatangi pesantrennya.
Dan hal yang menyayat hatiku pun terjadi. Anak kami yang melihat kedatangan kami hanya menatap kami dari kejauhan. Lalu kulambaikan tangan, dia pun menghampiri, tapi tak berani menatap mata kami. Saat kutanya,''Pripun, Nu, krasan?"(Bagaimana kerasan/betah, tidak?). Dia menjawab sambil tertunduk, "Krasan sithik."(kerasan tapi sedikit). Remuk redam hatiku rasanya. Bukankah jawabannya itu menyiratkan kalau dia tidak kerasan?! Lalu apa yang harus kulakukan?
Aku pun bertanya, "Piye, po bali bae?"(Bagaimana, apa pulang, saja?). Pertanyaan konyol, sebetulnya. Pertanyaan yang teramat sangat tidak perlu dipertanyakan. Tapi dia menjawab tidak, dan masih mau belajar di pesantren. Kembali, meski dengan berat hati, kami pun meninggalkannya dengan ragu.
Sampai akhirnya, melewati bulan ke dua, kami tidak bisa menjenguk karena Bulik mantu. Kami berencana akan menjenguk pekan depannya. Kebetulan ada teman yang menjenguk anaknya saat itu. Kami pun berpesan kalau dia menemui anak kami, kami akan menelfonnya. Dan pukul sekitar 17.00 WIB beliau sms, sedang berbicara dengan anak kami. Suamiku langsung menelfon, tapi tidak ada suara anak kami kecuali suara isak tangis. Kami panik, menurut informasi teman kami, Nuha sakit, dia demam, badannya panas. Teman kami menyarankan, kalau anak di pesantren jangan dingen-ngen, agar anak tidak kangen. Tanpa babibu, suami langsung memutuskan untuk segera bertolak ke Ponorogo.
Sekitar pukul 01.00 WIB dini hari, kami tiba di Pesantren Al Muqodasah. Langsung kami mencari anak kami yang tampak tertidur pulas. Kusentuh kepala dan seluruh tubuhnya, panas. Kupijat-pijat selama lebih kurang satu jam, dia menggeliat. Spontan aku menyapa dengan halus, "Nu, niki Umi," Nuha seperti membuka mata, tapi kembali memejamkannya. Trenyuh sekali rasanya, mungkin dia merasa itu hanya mimpi. Aku pun beristirahat, merebahkan tubuh, dan mencoba memejamkan mata, tapi tak kuasa.
Pukul 03.00 WIB para santri dibangunkan untuk melaksanakan sholat tahajud, Nuha kami ajak pindah ke ruang tamu. Kami terlibat tanya jawab, tentang pengobatannya, mau berobat di Ponorogo atau di Kendal. Nuha memilih berobat di Kendal. Lalu kami tanya, setelah sembuh kembali ke pesantren tidak? Dia menjawab tidak.
Akhirnya Nuha benar-benar pulang ke rumah dan batal mondok. Praktis dia sempat nyantri di Pesantren Al Muqodasah Ponorogo selama dua bulan.
Akhirnya kami bulatkan tekad mengizinkannya masuk Pesantren Al Muqodasah Ponorogo (dekat Gontor). Luar biasa kami melihat kebulatan tekadnya. Dites sampai tengah malam pun dijalaninya. dan dengan menahan air mata dan mengucapkan bismillahirrohmanirrohim, kami meninggalkannya di "penjara suci", dengan harapan semoga ia mendapatkan bekal ilmu agama yang memadai.
Kulihat suamiku menitikkan air mata. Rasanya bukan air mata cengeng atau sentimentil, tapi justru air mata tanggung jawab, menurutku. Setiap kali kami makan, selalu terlontar kata-kata,"Nuha makan apa, ya?" Bahkan demi solidaritas, dipan tempat tidur kami pun dilipat. kami letakkan kasur di lantai. Karena anak-anak kami tidur di kasur tipis di atas lantai-tanpa dipan.
Sebulan telah berlalu. Peraturan pesantren tidak mengizinkan orang tua menjenguk anak pada bulan pertama, dan baru diizinkan setelah bulan ke dua. Tapi karena rindu kami tak tertahankan, setelah berpisah satu bulan dengan anak-anak, kami pun nekat, memaksa mendatangi pesantrennya.
Dan hal yang menyayat hatiku pun terjadi. Anak kami yang melihat kedatangan kami hanya menatap kami dari kejauhan. Lalu kulambaikan tangan, dia pun menghampiri, tapi tak berani menatap mata kami. Saat kutanya,''Pripun, Nu, krasan?"(Bagaimana kerasan/betah, tidak?). Dia menjawab sambil tertunduk, "Krasan sithik."(kerasan tapi sedikit). Remuk redam hatiku rasanya. Bukankah jawabannya itu menyiratkan kalau dia tidak kerasan?! Lalu apa yang harus kulakukan?
Aku pun bertanya, "Piye, po bali bae?"(Bagaimana, apa pulang, saja?). Pertanyaan konyol, sebetulnya. Pertanyaan yang teramat sangat tidak perlu dipertanyakan. Tapi dia menjawab tidak, dan masih mau belajar di pesantren. Kembali, meski dengan berat hati, kami pun meninggalkannya dengan ragu.
Sampai akhirnya, melewati bulan ke dua, kami tidak bisa menjenguk karena Bulik mantu. Kami berencana akan menjenguk pekan depannya. Kebetulan ada teman yang menjenguk anaknya saat itu. Kami pun berpesan kalau dia menemui anak kami, kami akan menelfonnya. Dan pukul sekitar 17.00 WIB beliau sms, sedang berbicara dengan anak kami. Suamiku langsung menelfon, tapi tidak ada suara anak kami kecuali suara isak tangis. Kami panik, menurut informasi teman kami, Nuha sakit, dia demam, badannya panas. Teman kami menyarankan, kalau anak di pesantren jangan dingen-ngen, agar anak tidak kangen. Tanpa babibu, suami langsung memutuskan untuk segera bertolak ke Ponorogo.
Sekitar pukul 01.00 WIB dini hari, kami tiba di Pesantren Al Muqodasah. Langsung kami mencari anak kami yang tampak tertidur pulas. Kusentuh kepala dan seluruh tubuhnya, panas. Kupijat-pijat selama lebih kurang satu jam, dia menggeliat. Spontan aku menyapa dengan halus, "Nu, niki Umi," Nuha seperti membuka mata, tapi kembali memejamkannya. Trenyuh sekali rasanya, mungkin dia merasa itu hanya mimpi. Aku pun beristirahat, merebahkan tubuh, dan mencoba memejamkan mata, tapi tak kuasa.
Pukul 03.00 WIB para santri dibangunkan untuk melaksanakan sholat tahajud, Nuha kami ajak pindah ke ruang tamu. Kami terlibat tanya jawab, tentang pengobatannya, mau berobat di Ponorogo atau di Kendal. Nuha memilih berobat di Kendal. Lalu kami tanya, setelah sembuh kembali ke pesantren tidak? Dia menjawab tidak.
Akhirnya Nuha benar-benar pulang ke rumah dan batal mondok. Praktis dia sempat nyantri di Pesantren Al Muqodasah Ponorogo selama dua bulan.
No comments:
Post a Comment