Wednesday, October 1, 2014

Siswaku yang Agak "Berbeda"

SISWA GILA
Yang pertama siswa terpandai, sebut saja namanya Aan (nama samaran); dia satu-satunya siswa yang mendapatkan beasiswa dari yayasan tempatku mengajar, Aan merupakan lulusan pertama dan terbaik di STM Bhinneka. Setelah lulus, tahun 1996 sebelum ijazah diambil, karena masih ada tanggungan biaya pendidikan-yang tidak ter-cover beasiswa-dia sudah diterima di bengkel besar di Batang dengan gaji Rp300 ribu per bulan-menyamai gaji suami saya yang PNS saat itu. Setahun bekerja Aan singgah ke rumah kami, dia menceritakan rencananya kuliah. Kusarankan kuliah sambil bekerja, daftar saja di Pekalongan ambil kelas ekstensi. Tapi rupanya Aan punya pertimbangan lain. Dia mau kuliah di Semarang, dibiayai pamannya yang bekerja di Korea.

Tahun pertama kuliah Aan sangat menikmati perannya sebagai mahasiswa pendakwah di kampus. Dia sempat menceritakan teman-temannya yang anak orang kaya, yang jarang sholat akhirnya mau sholat setelah berteman dengannya. Saya sangat salut dan mendukung aktivitasnya itu. Tapi seiring dengan krisis yang melanda Indonesia tercinta, Aan terhanyut dengan gerakan demonstrasi mahasiswa yang menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Saya masih menyarankan, bagus sekali kalau jadi mahasiswa yang kritis, tapi tetap harus ingat, tugas utamanya adalah kuliah.
                                                                    
Kejanggalan mulai nampak saat Aan menyatakan kalau dirinya adalah Satrio Piningit; kandidat pemimpin yang sudah diprediksi paranormal. Lebih parah lagi dia mengatakan Satrio Piningit ada 2; Satrio Piningit 1 adalah Sri Sultan Hamengku Buwana X (mohon maaf kalau kurang berkenan) adapun Satrio Piningit 2 ada 2 juga; yaitu dia (Aan) dan temannya yang anak pejabat di provinsi. Cerita semakin seru saat Aan menyatakan dia menerima uang 22 milyar dari Presiden Soeharto. Saat itu aku semakin curiga kalau dia sudah tidak waras. Lebih aneh lagi dia minta uang untuk ongkos ke Jogja menemui Sinuhun. Kuberi sesuai ongkos bus sekali jalan ditambah sedikit uang jajan, dia berkata,"Kok hanya sedikit? Nanti saya balik Kendalnya bagaimana?" Aku langsung menjawab,"Kau bilang punya uang 22 milyar, kok ongkos ke Jogja saja minta?" Dia pun menolak uang saya. Tapi dia menyatakan mau pinjam motor. Aku pun tak keberatan meminjaminya. Tapi saat menuntun motor sampai depan pintu rumah, dia mengatakan,"Ah, kalau aku ke Jogja, berarti aku mengakui lebih rendah dari Sultan." Aan pun mengurungkan niatnya. Selanjutnya dia meminta izin memakai telepon, aku pun mempersilahkan. Tapi hal yang sama kembali terjadi. Saat mengangkat gagang telepon,"Ah, kalau aku yang telepon, berarti aku mengakui lebih rendah dari Sultan."                                  

Lain hari dia kembali ke rumah. Kali ini Aan datang naik sepeda, berpakaian kemeja katun putih lengan panjang dengan celana jeans biru muda. Kusodori sepiring pisang goreng buatanku yang dipesan Ica, anakku, dan baru sepotong dinikmatinya. Sambil menikmati pisang goreng, Aan menyatakan sudah memiliki ilmu kanuragan, dan akan mentransfer ilmunya kepada Ica yang saat itu baru berusia 5 tahun. Setelah mendorongkan telapak tangan yang terbuka dari dadanya ke arah Ica,"Sudah kuisi macan putih, Bu." Aku hanya tersenyum. Menyadari pisang goreng pesanannya ludes dihabiskan Aan, Ica berteriak,"Umi, pisangnya mana?!" dengan suara yang lantang karena marah. Aan malah mengatakan,"Itu Bu, macan putihnya udah nampak." Aku sibuk menenangkan Ica hingga tak menyadari Aan telah meninggalkan rumah kami dan tanpa sepedanya.
                                                                   
Tiga hari kemudian Aan kembali ke rumah kami dalam keadaan yang payah, nampaknya tiga hari tidak mandi, baju n badannya penuh debu, kusut masai. Setelah kami suruh mandi dan ganti pakaian suami, lalu makan, Aan langsung tidur kecapekan. Karena keadaannya semakin parah aku dan suami berunding bagaiman sebaiknya. Aku khawatir kalau suatu ketika emosinya tak terkendali padahal suami kalau pulang sampai sore, sedang Aan sering datang sejak siang sementara kondisiku sedang hamil anak ke-2. Akhirnya kami putuskan suamiku akan mengantarnya pulang karena aku sudah takut.                                                              

Saat sampai ujung gang kami, Aan turun, tidak mau diboncengkan suamiku. Dia bilang sedang dikejar-kejar Kopasus karena dia Satrio Piningit yang sedang diperebutkan pimpinan Kopasus yang terpecah menjadi 2, Kopasus Merah di bawah Prabowo Subiyanto dan Kopasus Hijau di bawah pimpinan Wiranto. Alhamdulillah dengan bertanya-tanya sepanjang jalan, akhirnya suamiku tiba di desanya ternyata para tetangga sudah tahu kalau jiwa Aan terganggu. Dari bapaknya, suamiku tahu kalau ternyata kuliahnya ga serius, hanya main saja. Pamannya jadi menghentikan kiriman biaya kuliah. ATM yang ditunjukkan-yang katanya berisi 22 milyar itu sebenarnya ATM yang sudah tidak berlaku karena sudah tidak ada aktivitas keuangan lagi. Itulah yang menyebabkan jiwanya terganggu di samping faktor keturunan, karena ibunya juga mengaami gangguan jiwa.

Sejak itu aku tak pernah mendengar kabar beritanya lagi. Sampai suatu ketika, dia datang ke sekolah menyatakan mau melamar jadi guru. Oleh guru yang menemuinya malah dikatakan,"Sudah membuat surat lamaran belum? Masih ingat surat lamaran tidak? kKalau sudah lupa, datang saja ke rumah Bu Endang agar diajari lagi." Karena guru itu tahu kisahnya dan merasa geli kok hanya rumahku saja yang didatangi, padahal gurunya banyak, Hadeehhh.

No comments:

Post a Comment